Semalem, sayup-sayup kedengeran
suara dari televisi. Pembahasannya begitu mistis, sarat dengan penculikan
ajaib, bencana, dan bla bla bla… Ternyata saya ketiduran ketika tv belum
dimatikan. Sambil mencari remote tv, mata yang udah sepet banget ini ngeliat makhluk-makhluk
berwarna hijau muncul di acara tv itu. Ternyata itu talkshow, Bukan Empat Mata Si Tukul. Yang saya ingat, komposisi orang-orang yang duduk di deretan talk
show itu terdiri dari Pepy, Bapak Gelap, Ibu (kebaya) Ijo, Wanita Cantik berbaju ijo (yang
katanya artis), dan Tukul.
Denger dari sayup sayup
pembahasannya sih mistis, ditambah lagi suara backsoundnya. Seperti biasa,
dengan bahasannya saat itu: Ratu Pantai Selatan, Indonesia selalu jadi mistis
dan horor. Ibu Ijo bercerita …....... Hm, mungkin ketika dia cerita saya masih tertidur. Yang
saya simak adalah ketika dia lagi di pantai di luar negeri ada gelombang yang
sangat besar sampai menghanyutkan banyak orang di sana, tapi dia tidak basah
sedikitpun. Gelombang laut yang datang seolah menghindari sekeliling badannya,
atau bahasa lainnya si Ibu Ijo itu ‘dilindungi’. Sementara Bapak Gelap, yang
pakaiannya emang item-item, menceritakan pengalamannya melukis rupa Ratu Pantai
Selatan, dan lukisannya malam itu menjadi pajangan di studio talkshow.
Perempuan dan Horor
Saya nggak tau apa bedanya mistis
sama horror, yang jelas mistis kalo di film-film Indonesia ya horror aja
jadinya. Padahal sesuatu yang mistis bisa dibawa ke hal-hal yang lebih
spiritual. Dan polanya, perempuan selalu hadir menjadi bagian dalam kemistisan
itu, ketika mistis mulai masuk ke ranah horror perempuan tetap jadi icon,
sampai sekarang. Dulu, masih ingat tentunya Suzanna yang memerankan Ratu Laut
Kidul, dan juga Nyi Blorong, lalu Diah Permatasari di film Si Manis Jembatan Ancol, dan
sebagainya dan sebagainya… Mungkin ada beberapa makhluk gaib (perempuan) yang
lebih bersahabat seperti Jinny (Diana Pungky) dalam sinetron Jinny oh Jinny.
Jin sebagai ‘hero’. Tetap saja Jinny butuh Bagus (Indra Brugman) untuk tetap bisa
hidup damai di dunia ini. Nasibmu perempuan… Ulasan tentang perempuan dalam
kisah mistis atau horror sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Hendri Yulius di
Majalah Bhinneka edisi #014 pada tulisannya yang berjudul Perempuan dalam
Kuburan.
Hari ini, sejak beberapa tahun belakangan, sedikit film horor yang
tidak menjadikan perempuan sebagai bahan eksploitasi seksual. Saya juga nggak
ngerti, kenapa mesti film horor? Apa karena film horor di luar negeri perempuan
terlihat sexy dan keren gitu? Terus gua harus bilang wow, gitu?
|
Film horor tipe 'perawan keramas' |
Dengan imej sekarang yang sudah
ter-imej-kan bahwa film horor Indonesia itu isinya: cewek dan tetek dan paha dan
desahan, saya jadi sangat kecewa. Padahal dulu sejak SMA saya hobby nonton film
horor Indonesia. Tapi tentu saja yang lebih modern dari Suzanna. Perempuan-perempuan
dalam film horor, antara setelah era Suzanna dan horor sex lama – sampai –
sebelum era ‘perawan keramas’, menghadirkan banyak perempuan sebagai sosok yang
pemberani, dan tidak mau kalah sama teman-temannya yang laki-laki. Sebut saja Marcella
Zalianti dan Dina Olivia dalam Tusuk Jelangkung. Lalu ada Nagita, Jennifer, dan
Intan Ayu dalam Di Sini Ada Setan. Dan film thriller Rumah Dara yang
menampilkan Julie Estelle. Saya kecewa karena karena mungkin saja sekarang sudah
banyak lagi film horor keren di Indonesia, tapi temen-temen selalu nggak mau
diajak nonton. Ya, karena itu tadi, imej yang sudah ter-imej-kan “horor bokep” itu tadi.
|
Film Horor favorit saya, Dina Olivia keren banget di film ini. |
Ratu Pantai Selatan (bukan) Kisah Horor
Kembali ke pembahasan karena saya
tidak sengaja nonton acaranya Tukul semalam. Om Tukul itu kenapa acaranya jadi
rada-rada horor semua ya? Seru gitu? Enggak Om. Kisah Ratu Pantai Selatan itu,
sebut saja sebagai cerita rakyat, karena berada dalam lingkup kepercayaan
masyarakat Sunda, Jawa, dana sebagian masyarakat Bali. Saya masih ingat ketika
salah satu bintang tamu Bukan Empat Mata yaitu, si Wanita Cantik (yang katanya
artis itu) berusaha menanggapi cerita mistis Ibu Ijo dan bapak Gelap dengan tanggapan
bijaksana dan logis. Lalu kedua bingtang tamu lainnya (Bapak Gelap dan Ibu Ijo)
mulai melunak, mengatakan bawa Ratu itu sangat baik, dan kita tidak perlu takut
tapi harus menjaga lautan. Nah, itu poinnya!!
Pada jaman dulu, ketika belum
masuk agama agama monotheisme ke nusantara seperti sekarang ini, orang-orang
masih banyak yang menganut kepercayaan animism dan dinamisme, juga politeisme.
Orang-orang pada masa itu tentunya masih berhubungan erat dengan alam. Belum
banyak yang menggunakan ilmu pengetahuan pada saat itu. Gejala alam yang mereka
rasakan berusaha mereka jawab dengan kepercayaan yang mereka yakini. Salah?
Tidak sama sekali saya rasa.
Menarik bila menbaca Jostein
Gaarder, saat dia menceritakan tentang Thor sebagai penjelasan mitologi
masyarakat Skandinavia sebelum masuknya agama Kristen ke Norwegia. Hujan dijelaskan oleh mitos, bahwa
Thor sedang mengayunkan palunya. Palunya bukan hanya digunakan untuk membuat
hujan, melainkan juga menjadi senjata untuk melawan pengacau. Di sinilah dapat
dipelajari mengapa keseimbangan alam dipertahankan dan selalu terjadi
pertempuran antara kebaikan dan kejahatan. Dalam Dunia Sophie, Gaarder juga
menuliskan: Ketika kekeringan melanda, orang-orang mencari penjelasan mengapa
tidak turun hujan. Mungkinkah karena para raksasa telah mencuri palu Thor?
Barangkali mitos, legenda dan
cerita rakyat itu digunakan untuk memberikan penjelasan akan gelaja-gejala alam
yang dirasakan masyarakatnya. Membuat nilai atau pandangan hidup tentang
bagaimana manusia hidup selalu berdampingan dengan alam, norma bahwa hidup yang
berdampingan itu selalu membutuhkan keseimbangan. Mungkin juga cerita Nyi Roro
Kidul atau Ratu Pantai Selatan dibuat horor, supaya orang-orang takut dengan
beliau, tidak berani mendekat dan melecehkan beliau. Tapi Beliau itu bukan
sekedar beliau, Ratu Pantai Selatan. Selalu ada yang dijaga dari seorang Ratu,
yaitu pantai itu sendiri. Beliau menjaga pantai dari ketidakseimbangan yang
selalu ditimbulkan manusia. Kalau kata Ibu Ijo sang Ratu sebenarnya adalah ibu
yang sangat baik, lalu kenapa tidak diceritakan tentang kebaikannya.
Menceritakan kebaikan itu untuk
pelajaran menjaga keseimbangan alam dan manusia, saya rasa harus diterapkan
untuk anak-anak jaman sekarang. Bahwa alam memiliki Ibu. Anak-anak selalu dekat
dengan sosok ibu kan? Saya jadi ingat film Ghibli yang di pinjamkan Puput buat
saya. Judulnya Ponyo. Ponyo sendiri adalah anak dari Dewi Penguasa Laut. Dan di dalam film ini secara tersirat tergambarkan bagaimana kehidupan manusia selalu berkaitan dengan alamnya. Film Ghibli, (Ponyo, Totoro, dll) selalu menyuguhnya spiritualitas, mitos antara
alam gaib dan dunia manusia diceritakan dalam kemasan kartun, mengajarkan
dengan cara yang lucu, ceria dan unik kepada anak-anak tentang keseimbangan
alam. Sehingga tidak perlu ada lagi eksploitasi terhadap perempuan dalam film
horor, dan tidak perlu ada lagi menjaga alam karena ketakutan, tapi menyadarkan
bahwa perempuan bisa berani dalam kegelapan, dan pesan dari alam tidak selalu
horor atau mengerikan.
|
Ponyo on the Cliff by the Sea |
Kata pepatah: Mengajar orang tua
itu seperti menulis di atas pasir, mudah, tapi mudah hilang juga. Tapi kalau
mengajar anak-anak itu seperti menulis di atas batu, susah, tapi akan terukir
selamanya.
Grasindo, saya merindukan buku cerita rakyatmu yang dari berbagai wilayah Indonesia itu.
Tiaradewi.
Bekasi, 4 Januari 2013.
Buat Puput (Putri Sesilia @puputkadrie), makasih ya udah mau pinjemin Ponyo :)